Pemerintah resmi menunda pengesahan RUU Pilkada pada Kamis (22/8). Penundaan dilakukan karena peserta sidang paripurna yang hadir tidak memenuhi kuorum sehingga sidang paripurna harus dibatalkan. “Oleh karena itu, kita akan menjadwalkan Kembali rapat Bamus (Badan Musyawarah) untuk rapat paripurna karena kuorum tidak terpenuhi,” kata Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad di Ruang Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Kamis (22/8). Rapat paripurna pada hari tersebut hanya dihadiri oleh 176 orang anggota DPR. Jumlah tersebut tidak memenuhi kuorum karena kurang dari 50% plus 1 total jumlah anggota DPR RI (total anggota DPR RI 575 orang).
Sebelumnya, Badan Legislatif DPR RI menyetujui pembahasan tingkat dua RUU Pilkada kontroversial pada Rabu (21/8). RUU Pilkada versi DPR RI dinilai berbeda dari putusan MK atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024. Perbedaan isi RUU dan putusan MK kemudian mengundang kemarahan dari masyarakat Indonesia.
Gelombang penolakan terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada Kamis (22/8). Ribuan mahasiswa, aktivis, public figure, dan masyarakat menyuarakan penolakannya terhadap RUU Pilkada. Menurut pantauan Dataloka, puncak aksi berlangsung di Jakarta hingga pukul 21.00 WIB. Meski telah dilakukan mediasi oleh beberapa tokoh politik, seperti Masinton Pasaribu, Arteria Dahlan, dan Habiburokhman, masa aksi tetap bertahan hingga malam hari.
Desakan masyarakat membuat wakil ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa RUU Pilkada batal disahkan pada hari Kamis (22/8). “Karena RUU Pilkada belum disahkan menjadi Undang-Undang, maka yang berlaku adalah hasil keputusan Mahkamah Konstitusi, judicial review yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora” Kata Sufmi Dasco Ahmad, saat konfersi pers di Gedung MPR/DPR/DPD. Meski mendapat angin segar, masa aksi sempat bertahan sebelum akhirnya mereka mulai membubarkan diri pada pukul 21.00 WIB.
Pernyataan DPR menegaskan bahwa KPU dapat menggunakan Putusan MK atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 untuk membuat PKPU. Jika PKPU mengikuti putusan MK, beberapa partai yang sebelumnya tidak dapat mencalonkan diri karena terganjal koalisi dan ambang batas dapat mengajukan calonnya sendiri, seperti PDIP di DKI Jakarta. Ini menjadi angin segar bagi kondisi demokrasi di Indonesia. (IFR/D-2)