Setelah mencatat tren penurunan selama hampir satu tahun, inflasi nasional kembali menunjukkan gejala pergeseran. Pada Maret 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) sebesar 1,03 persen, disertai inflasi bulanan (month-to-month/MtM) yang melonjak hingga 1,65 persen. Jika angka YoY menandakan stabilitas harga, maka kenaikan tajam secara MtM justru menjadi sinyal awal tekanan harga yang berpotensi meluas dalam waktu dekat.
Dibandingkan Maret 2024 (3,05 persen) dan Maret 2023 (4,97 persen), inflasi tahunan tahun ini tampak sangat rendah. Namun inflasi bulanan yang tinggi mengindikasikan dinamika harga yang mulai bergeser, terutama akibat periode konsumsi tinggi Ramadan dan Idul Fitri.
Tekanan Bulanan dari Energi dan Bahan Makanan
Sumber utama kenaikan inflasi bulanan Maret 2025 datang dari kelompok energi, yang mencatat inflasi MtM hingga 12,51 persen dan menyumbang 1,17 persen terhadap inflasi nasional. Komoditas seperti tarif listrik dan bahan bakar rumah tangga mendominasi lonjakan ini.
Kelompok bahan makanan pun tak kalah signifikan. Dengan inflasi MtM sebesar 1,64 persen, bahan makanan seperti beras, cabai rawit, bawang merah, daging ayam ras, dan ikan segar menjadi pendorong utama inflasi. BPS mencatat, kelompok ini menyumbang 0,34 persen terhadap inflasi bulanan nasional.
Sementara itu, kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya juga menunjukkan tekanan inflasi yang konsisten, baik secara YoY (8,71 persen) maupun MtM (0,95 persen), didorong oleh kenaikan harga emas perhiasan dan jasa perawatan pribadi.
Inflasi Inti Relatif Stabil, Tapi Tekanan Tetap Ada
Inflasi komponen inti tercatat sebesar 2,48 persen YoY, lebih tinggi dari headline inflation. Komponen ini merefleksikan tekanan harga yang tidak bersifat musiman, seperti pendidikan, kesehatan, dan jasa rumah tangga. Meski stabil, tren naik ini tetap menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat bisa terus tergerus jika tekanan harga menyebar lebih luas.
Sebaliknya, komponen harga yang diatur pemerintah mencatat deflasi YoY sebesar -3,16 persen, dan energi bahkan mencatat deflasi tahunan sebesar -8,41 persen, meskipun secara bulanan angkanya naik tajam. Ini menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal seperti subsidi energi dan intervensi tarif masih efektif menahan laju harga—meski mungkin tidak bertahan lama.
Ketimpangan Wilayah: Inflasi Ekstrem di Papua Pegunungan
Disparitas inflasi antarwilayah masih nyata. Papua Pegunungan mencatat inflasi tahunan tertinggi secara nasional, yakni 8,05 persen, jauh di atas rata-rata nasional. Sementara itu, Provinsi Papua Barat mengalami deflasi YoY sebesar -0,23 persen, dan Kabupaten Muko Muko mencatat deflasi daerah terdalam sebesar -0,83 persen.
Perbedaan ini tidak hanya mencerminkan faktor geografis dan logistik, tetapi juga ketimpangan pasokan, ketergantungan terhadap komoditas tertentu, dan efektivitas kebijakan daerah. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memperlebar kesenjangan harga antarwilayah, sekaligus mempersulit strategi pengendalian inflasi nasional.
Risiko Deflasi: Stabilitas Harga yang Semu?
Meski inflasi YoY tampak terkendali, rendahnya angka tersebut menyimpan risiko tersendiri. Jika tekanan harga terus melemah hingga memasuki zona negatif, Indonesia bisa menghadapi ancaman deflasi—penurunan harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus. Ini bukan pertanda baik bagi ekonomi karena deflasi kerap disertai dengan menurunnya konsumsi rumah tangga, stagnasi investasi, dan perlambatan aktivitas ekonomi.
Fenomena ini mulai tampak di beberapa wilayah, seperti Papua Barat, Bengkulu, dan beberapa kota di Jawa dan Sumatera, yang mencatat inflasi mendekati nol atau bahkan negatif. Jika terus berlanjut, deflasi bisa memicu tanda bahaya karena pelaku usaha akan menahan produksi karena permintaan lemah, tenaga kerja dikurangi, dan masyarakat semakin menunda konsumsi.
Antisipasi Kebijakan
Bank Indonesia dan pemerintah pusat perlu mencermati dinamika inflasi ini secara seksama. Kenaikan harga pada komoditas tertentu tidak selalu berarti tekanan inflasi jangka panjang, namun tren deflasi di beberapa daerah tidak boleh diabaikan. Kombinasi di antara kebijakan moneter yang adaptif dan intervensi fiskal yang terarah sangat dibutuhkan, terutama untuk menjaga daya beli dan kelancaran distribusi barang pokok. Tanpa intervensi yang tepat, lonjakan harga sesaat dapat mengganggu stabilitas makro yang selama ini sudah mulai terkendali. (IMR/D-2)
(Baca juga: IHSG Diprediksi Melemah Hari Ini, Simak Rekomendasi Saham KLBF, ASII, dan INDF)
Download aplikasi Dataloka.id di Android sekarang untuk akses informasi berbasis data yang akurat dan terpercaya.
Download aplikasinya di sini.
Atau gabung di WA Channel Dataloka.id untuk update data terbaru, di sini.
Comments 1